Thaharah (Bersuci)

Thaharah secara etimologi ialah bersih dan suci dari berbagai kotoran. Sedangkan thaharah menurut syari'at ialah bersih dari segala najis dan hadats. Thaharah merupakan ciri terpenting dalam islam, yang berarti bersih atau sucinya seorang wanita muslimah secara lahir maupun batin. Islam menuntut wanita muslimah untuk membersihkan hatinya dari syirik, dengki dan iri hati.

thaharah

Dalam hal ini Allah SWT telah berfirman :
"Pada hari dan anak laki-laki tidak berguna kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih". (QS. Assyu'ara : 88-89) dan, "Katakanlah kepada hamba Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar)". (QS. Al Isra' : 53). Allah SWT memerintahkan wanita muslimah untuk menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat, dimana Allah berfirman, "Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, kesemuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban". (QS. Al Isra' : 36)

Wanita muslimah juga diwajibkan untuk mensucikan badan dan pakainan serta tempat shalatnya dari najis yang bersifat lahir, agar sejalan dengan pensucian hatinya. Dari Abu Hurairah r.a diriwayatkan bahwa Nabi saw pernah bersabda, "Allah tidak kan menerima shalat seseorang diantara kalian apabila berhadats, sehingga ia berwudhu". (HR. Bukhari). Demikian juga hadist yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Malik Al Asy'ari, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda :

"Kesucian itu sebagian dari iman. Bacaan Alhamdulillah memenuhi timbangan. Subhanallah wa alhamdulillah memenuhi apa yang berada di antara langit dan bumi. Sedangkan shalat adalah pelita, sedekah adalah bukti, kesabaran adalah cahaya dan Al Qur'an adalah hujjah yang membenarkan atau menyalahkan. Setiap orang yang pergi pagi hari dan menjajahkan diri (berkorban di jalan Allah), maka ia telah memerdekakan atau bahkan justru akan membinasakannya". (HR. Muslim)

Dalil-dalil tentang thaharah banyak disebutkan dalam Al Qur'an, hadist dan hikmah keutamaan thaharah, antara lain Rasulullah bersabda, "Kunci shalat adalah bersih". Dan firman Allah :
"Didalamnya ada orang-orang yanmg ingin membersihkan diri, dan Allah menyukai orang-orang yang bersih". (QS. At Taubah : 108)
"Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu...". (QS. Al Maidah : 7)

Dengan kata lain kebersihan dan kesucian adalah wajib secara syar'i dan akal. Thaharah yang disebutkan di atas adalah kebersihan lahir yang mempunyai kedudukan penting seperti yang  dijelaskan tadi. Namun ada pula kebersihan bathin yang harus dimiliki seseorang, yaitu berupa keikhlasan hati tanpa adanya kesombongan, iri, dengki, ujub, dan sifat-sifat tercela yang merusak akhlak. Sabda Nabi saw, "Kebersihan adalah sebagian dari iman", maksudnya dalah kebersihan duniawi, karena seorang muslim yang mempunyai sifat tercela di atas akan bisa melemahkan imannya. Tapi bila bathinnya terlepas dari sifat-sifat tersebut, rohnya yang bersih dan jiwanya yang suci, maka imannya akan sempurna. Disebutkan dalam kitab Al Bada'i, thaharah terbagi dua macam, yaitu sebagai berikut :
  1. Thaharah Hakikiyah, yaitu suci pakaian, badan dan tempat shalat dari najis hakiki.
  2. Thaharah Hukmiyah, yaitu suci anggota tubuh dari hadast kecil dan suci seluruh anggota tubuh lahir dari janabat. Suci pakaian dan badan dari najis hakiki.
Firman Allah SWT :
"Dan pakaianmu bersihkanlah!". (QS (Al Mudatsir : 4)
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai mata kaki". (QS. Al Maidah : 6)
"Dan jika kamu junub maka mandilah". (QS. Al Maidah : 6)

Sabda Rasulullah saw :
"Tiada shalat kecuali dengan bersuci".
"Di bawah setiap rambut adalah janabat, maka basahilah rambut dan sucikanlah kulit (badan)".

Nash-nash di atas menunjukkan bahwa thaharah hakikiyah adalah suci pakaian dan badan, sedangkan thaharah hukmiyah adalah merupakan syarat sahnya shalat.

Mensucikan pakaian dari air kencing anak lelaki maupun anak perempuan
Terdapat hadist-hadist Nabi saw berderajat shahih yang membedakan antara air kencing anak laki-laki dan anak perempuan yang masih menyusu apabila mengenai pakaian. Selain menjelaskan cara mencucikannya dengan air. Air kencing anak laki-laki cukup disiram dengan air, sehingga pakaian yang terkena kencing itu menjadi suci kembali dan tidak usah mencucinya. Sedangkan untuk air kencing anak perempuan harus dicuci agar pakaian itu menjadi suci. Cara-cara pencuciannya seperti di atas berlaku untuk mencuci kencing anak laki-laki dan anak perempuan yang belum makan makanan, atau anak yang hanya mengkonsumsi air susu ibunya. Adapun anak-anak yang telah mendapatkan makanan tambahan selain susu ibunya, maka air kencing mereka (lelaki dan perempuan) harus disucikan dengan cara dicuci dengan air.

Pada baris-baris berikut ini merupakan hadist-hadist yang berkaitan dengan masalah ini, dan pendapat para fukaha serta penjelasan yang dapat diterima. Hadist-hadist Nabi saw mengenai kencing anak laki-laki dan perempuan. "Dari Ummu Qays binti Muhsin bahwa dia membawa seorang anaknya yang masih kecil dan belum memakan makanan kepada Rasulullah saw. Kemudian beliau mendudukannya dipangkuannya, lalu anak itu mengencingi baju beliau. Maka Rasulullah meminta air untuk memercikannya (rasysya) di atas kencing itu."

Begitu pula riwayat yang terdapat di dalam jamiat Tirmidzi yang mempergunakan kata rasysya.
"Dari Aisyah r.a berkata, "Dahulu Nabi saw sering didatangi oleh anak-anak kecil kemudian beliau mendoakan mereka lalu ketika didatangkan seorang anak kecil kepadanya dia mengambilnya kemudian anak kecil itu kencing pada bajunya. Lalu beliau meminta air dan memercikannya pada bekas kencing itu dan tidak mencuci pakaiannya". (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

"Dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah saw bersabda, "Kencing anak laki-laki diperciki sedangkan kencing anak perempuan di cuci". Qatadah berkata, "Hal ini berlaku untuk anak-anak yang belum memakan makanan. Apabila mereka telah memakan makanan maka keduanya harus di cuci". Ada lagi hadist-hadist yang lainnya, mengatakan bahwa kencing anak perempuan harus dicuci dan kencing anak laki-laki cukup diperciki.

Para pengikut mazhab hanafi berkata, "Keduanya, kencing anak laki-laki dan anak perempuan adalah sam-sama wajib dicuci". Ibnu Daqiq Al'id berkata, "Saya ikut kepada mazhab Hanafi dan Maliki dalam masalah qias itu". Mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sabda Nabi saw "tidak mencucinya" adalah mencuci dengan serius. Ibnu Daqiq Al'id berkata, "Penakwilan seperti ini didorong oleh bentuk lahiriyah hadist-hadist mulia tersebut, "Yang sebagian hadist tersebut telah kami sebutkan pada halaman sebelumnya".

Abu Ja'far at Thahawi berkata, air kencing anak laki-laki sama dengan air kencing perempuan, hanya saja untuk kencing anak laki-laki cara mencucinya boleh hanya dengan menyiramkan air di atasnya, karena sesungguhnya 'memercikkan' (nadhadha) dalam hadist Nabi saw adalah bermakna 'menyiramkan air' dan hal ini dikuatkan oleh pendapat Al Thahawi bahwa dalam sebagian riwayat itu terdapat ungkapan "siramlah dengan air di atasnya atau di atas kencing anak laki-laki". Dalam riwayat yang berasal dari Ummu al Fadhl disebutkan sabda Nabi saw "Sesungguhnya kencing anak laki-laki itu disiram, sedangkan kencing anak perempuan di cuci". Dengan riwayat-riwayat seperti itu, jelaslah bahwa hukum kencing anak laki-laki mesti di cuci, hanya saja cara mencucinya cukup dengan menyiramnya atau menyiram di atas tempat air kencing itu tersebut, sedangkan kencing anak perempuan harus dicuci.

Imam Abu Umar bi Abdul Barr berkata, "kias yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kencing anak laki-laki dan perempuan, adalah sama dengan kondisi tidak adanya perbedaan antara lencing anak laki-laki dan perempuan. Hanya saja riwayat-riwayat tersebut muncul dengan menbawa perbedaan diantara keduanya. Apabila riwayat itu dianggap shahih dan tidak bertentangan denga riwayat serupa yang berasal dari Nabi saw, maka ia wajib dijadikan pegangan. Akan tetapi ada riwayat dari Ummu Salamah yang mnegtakaan, "Kencing anak laki-laki itu disiram, sedang kencing anak perempaun di cuci, baik ia sudah makan maupun belum". Dan yang dimaksudkan dengan memercikan air ke atas kencing laki-laki yang terdapat pada sebagian riwayat adalah menyiramkan air ke atasnya, karena sesungguhnya menyiram (shabb) itu kadang-kadang disebut dengan memercikkan (nadhaha). Sehingga perbedaan antara kencing anak laki-laki dan kencing anak perempuan yang masih menyusu terletak pada penyiraman dan pengucekkan untuk kencing anak laki-laki, sedang kencing anak perempuan harus dicuci, disikat dan diperas. Inilah pendapat yang paling baik. Dan begitulah fatwa yang diberikan oleh Al Hasan Al Bashri. Dia mengatakan, "Kencing anak perempuan itu dicuci dengan sekali cucian, sedangkan kencing anak laki-laki cukup disiram dengan air pada bekasnya".

Pendapat yang paling benar ialah pendapat yang didukung oleh hadist-hadist Rasulullah saw yaitu bahwa kencing anak laki-laki yang masih menyusu boleh disucikan dengan memercikkan air di atasnya, sedangkan kencing anak perempuan yang masih menyusu harus disucikan dengan cara mencucinya. Dan yang dimaksudkan dengan memercikkan (nadhaha) dalam hadist-hadist tersebut adalah memercikkan (rasysy) walaupun kadang kala dimaksudkan dengan mencucinya (ghusl). Akan tetapi kalau dibandingkan dengan air kencing anak perempuan maka hal itu menunjukkan bahwa maksudnya ialah memercikkan air dan bukan mencucinya, atau menyiramkan air di atasnya, pendapat ini didukung oleh sebagian riwayat yang mengatakan bahwa kencing anak laki-laki cukup diperciki air, sedangkan kencing anak perempuan harus dicuci, seperti yang telah disebutkan dimuka.

Baca juga mengupas tuntas 20 pertanyaan tentang hukum-hukum nifas dan haid.

* Bismillah...wellcome to Postart Alifah
* View web version untuk berkomentar, bagi yang menggunakan smartphone
* Berkomentarlah dengan bijak, and have I nice day

ARTIKEL MENARIK LAINNYA